LAPO KITA - Edukasi: Benarkah Pancasila Sakti?. Sejak kemenangan kelompok militer pimpinan Jendral Soeharto di tahun 1966, tanggal 01 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Apakah penetapan tanggal ini benar menurut alur logika kesejarahan yang terjadi? Mengapa tanggal 01 Oktober? Mengapa bukan tanggal 01 Juni (lahirnya Pancasila) atau tanggal 22 Juni (Piagam Jakarta) atau tanggal 18 Agustus (penetapan dasar negara dan UUD 1945) yang dipilih sebagai Hari Peringatan Kesaktian Pancasila? Benarkah Pancasila sakti?
LAHIRNYA PANCASILA
Diantara dua ideologi besar yang saling bertarung saat itu (Kapitalisme berhadapan dengan Komunisme), Soekarno menawarkan ideologi alternatif yang beliau namakan dengan Pancasila. Dibawah kontrol ketat dari bala tentara kerajaan Dai Nippon (Jepang), Soekarno menawarkan lima prinsip yang akan menjadi dasar dari bangunan Negara Indonesia Merdeka yang saat itu sedang dipersiapkan dan diperjuangkan. Kelima prinsip dasar yang ditawarkan oleh Soekarno adalah:
- Prinsip Kebangsaan;
- Prinsip Internasionalisme;
- Prinsip Permusyawaratan Perwakilan;
- Prinsip Kesejahteraan Sosial; dan
- Prinsip Ketuhanan.
Kelima prinsip tersebut diatas, oleh Soekarno dinamai sebagai PANCASILA, yang dapat diperas menjadi TRISILA (yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan), yang kemudian dapat diperas lagi menjadi EKASILA, yaitu GOTONG ROYONG. Dalam proses penyiapan mukadimah UUD 1945, yang kemudian dikenal sebagai PIAGAM JAKARTA, redaksional dan urutan kelima prinsip dasar itu mengalami pengembangan menjadi:
- Prinsip Ketuhanan yang Mahaesa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya;
- Prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Prinsip Persatuan Indonesia;
- Prinsip Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
- Prinsip Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Redaksional dan urutan kelima prinsip dasar negara Indonesia Merdeka yang akhirnya disepakati dan ditetapkan menjadi dasar negara Indonesia Merdeka dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneia (suatu panitia yang dibentuk untuk mempersiapkan dasar negara dan undang-undang dasar negara yang terdiri dari perwakilan beragam suku, agama, ras, dan antar-golongan yang ada pada saat itu) adalah sebagai berikut:
- Prinsip Ketuhanan yang Mahaesa;
- Prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Prinsip Persatuan Indonesia;
- Prinsip Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
- Prinsip Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PANCASILA: DASAR NEGARA ATAU KENDARAAN POLITIK?
Sejak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, beragam upaya penghancuran atas ideologi alternatif ini terus terjadi. Upaya penghancuran dating dari beragam kelompok kepentingan dari dalam dan luar negeri. Upaya pertama kali datang dari kekuasaan kolonial kerajaan Netherland yang hendak menancapkan kembali kekuasaannya setelah direbut oleh kerajaan Dai Nippon pada Maret 1942. Upaya-upaya ini mulai dari proyek-proyek politik yang tertuang dalam beragam perjanjian/perundingan politik (dari Linggarjati hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag), sampai aksi-aksi polisionil (agresi militer).
Proyek politik kerajaan Netherland berupa pembentukan negara-negara federal yang dipayungi oleh kerajaan Netherland berhasil dipatahkan oleh gerakan konsientisasi dan konsolidasi yang dilakukan oleh para pelajar, mahasiswa dan kaum intelektual bumiputra yang secara intensif melakukan perlawanan gerilya bersama-sama massa rakyat. Bentuk konkret dari keberhasilan ini adalah pernyataan sikap dari pemimpin negara-negara federal bentukan kerajaan Netherland untuk kembali bergabung dalam payung Negara Kesatuan Republik Indonesia pada bulan Agustus 1950. Pembentukan Badan Konstituante setelah Pemilu Raya tahun 1955 sebenarnya adalah peluang emas untuk menerjemahkan dasar negara Pancasila ke dalam UUD negara. Namun peluang emas tersebut tidak dapat dipergunakan dengan baik karena blunder politik yang terjadi dalam proses persidangan, hingga pada tanggal 03 Juli 1959 mayoritas anggota Badan Konstituante memutuskan untuk tidak melanjutkan sidang karena blunder politik yang mengiringi selama proses persidangan.
Tanggal 05 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya menyatakan:
- Pembentukan MPRS dan DPAS;
- Pemberlakuan kembali UUD ‘45 dan tidak berlakunya UUDS 1950; dan
- Pembubaran Konstituante.
Peluang untuk menerjemahkan ideologi Pancasila dalam UUD negara menjadi hilang. Pancasila masih tetap ada dalam tataran konsep, dan belum diterjemahkan dalam tataran praktek. Hal ini sama artinya dengan Pancasila belum menjadi landasan prilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila semakin jauh dari realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ketika Presiden Soekarno menyampaikan gagasan politiknya tentang penyatuan tiga kekuatan pokok revolusi Indonesia, yaitu proyek politik NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Gagasan ini bukanlah gagasan baru karena pada waktu Soekarno masih muda, gagasan ini pernah dituangkannya dalam serial tulisan di majalah Indonesia Muda tahun 1926 yang bertajuk Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Atau dapat pula diintrepretasikan gagasan politik NASAKOM adalah penerjemahan dari TRISILA, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Proyek politik ini di tataran akar rumput pada akhirnya malah mempertajam konflik laten diantara kekuatan nasionalis, kekuatan agama, dan kekuatan komunis.
Hingar bingar pertarungan dua ideologi besar di dunia, Kapitalisme versus Komunisme, akhirnya berimbas pula dalam perjalanan politik negara muda ini. Kesenjangan ekonomi yang mencolok antara perkongsian militer-kapitalis domestik dengan mayoritas massa rakyat miskin semakin memanaskan konstelasi politik dalam negeri negara Indonesia muda. Gesekan kepentingan ekonomi-politik antara kekuatan nasionalis dan kekuatan agama yang didukung kekuatan militer dan kapitalis domestik berhadapan dengan kekuatan komunis akhirnya memuncak pada pertikaian paling berdarah sepanjang sejarah pergolakan politik di Indonesia.
Hal menarik adalah ketika membandingkan Revolusi Perancis sepanjang tahun 1789 – 1799 dengan Revolusi Indonesia sepanjang tahun 1945 – 1965. Revolusi Perancis yang berlangsung selama sepuluh tahun berakhir dengan pembantaian terhadap tokoh-tokoh revolusioner Perancis dan terbentuknya Kekaisaran Bonaparte yang ekspansionis, sementara Revolusi Indonesia yang berlangsung selama dua puluh tahun berakhir dengan pembantaian terhadap tokoh-tokoh komunis, tokoh-tokoh pro-Soekarno, dan ratusan ribu hingga jutaan nyawa rakyat jelata (entah benar mereka adalah anggota Partai Komunis Indonesia, entah salah tangkap karena beragam alasan mulai dari sentimen pribadi – kecurigaan tak beralasan – dendam pribadi - dan iri dengki yang diiringi dengan hasrat menguasai hak milik orang lain atas harta dan wanita) yang tidak tahu menahu atas pertikaian politik di bangunan atasnya dan terbentuknya kekuasaan fasis militer Soeharto yang (secara terbatas juga) ekspansionis. Hal menarik lainnya adalah semua pihak yang terlibat dalam pertikaian ini semua mengklaim maneuver-manuver politik mereka sebagai upaya penyelamatan REVOLUSI INDONESIA, yang berlandaskan pada dasar negara Indonesia Merdeka, PANCASILA.
Puncak pertikaian politik yang berlumuran darah sepanjang tahun 1965 – 1967 melahirkan langgam kekuasaan baru dengan salah satu propaganda politiknya adalah untuk melaksanakan amanat UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Pancasila yang semula ideologi terbuka sepanjang tahun 1945 – 1965, lambat laun dibentuk menjadi ideologi tertutup sejak Maret 1966 dengan monopoli intrepretasi dari kekuasaan politik Junta Militer Soeharto.
Demi pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, Junta Militer Soeharto melalui lembaga legislatif dan yudikatif yang berhasil dikendalikannya, mengesahkan produk perundang-undangan yang justru bertentangan dengan gagasan awal lahirnya Pancasila dan semangat yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, seperti:
- Pemberlakuan kebijakan NKK/BKK untuk mengendalikan dan mengintervensi aktifitas akademi dan non akademik mahasiswa (de-politisasi kampus);
- Penyederhanaan/fusi partai-partai politik ke dalam dua partai politik dan satu organisasi kekaryaan;
- Pemaksaan intrepretasi atas ideologi Pancasila versi Junta Militer Soeharto sebagai asas tunggal partai-partai politik dan organisasi kekaryaan/kepemudaan/kemasyarakatan;
- Pelarangan ideologi dan aktifitas politik maupun aktifitas kemasyarakatan yang mengarah pada ideologi tertentu (Komunisme dan Islamisme);
- Penyortiran bahan bacaan dan bahan ajar serta manipulasi atas sejarah yang diajarkan kepada seluruh siswa didik;
- Indoktrinasi ideologi Junta Militer Soeharto melalui lembaga BP7 yang menggunakan metode monologis yang dikenal dengan nama program penataran P4;
- Pemberlakuan litsus dan screening dengan dalih bersih-diri dan bersih-lingkungan dari unsur-unsur paham komunisme untuk calon pegawai negeri sipil, anggota militer, dan pejabat pemerintahan;
- Serta kebijakan-kebijakan lain yang senada di semua bidang kehidupan masyarakat.
Ketatnya kontrol yang dilakukan oleh Junta Militer Soeharto melalui badan dan lembaga intelijen bentukannya secara efektif mampu mengamankan kekuasaan rejim ini sepanjang 32 tahun. Harga yang harus dibayar demi tegaknya negara “Rumah Kaca” Orde Baru Soeharto adalah melayangnya jutaan nyawa rakyat jelata yang terakumulasi sejak tahun 1965 hingga 1998. Lagi-lagi semuanya diletakkan atas legitimasi demi pelaksanaan amanat pembukaan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen … tentu saja hasil intrepretasi very Rejim Junta Militer Soeharto.
Pada tahun 1992, kemurnian dan kekonsukuenan pelaksanaan amanat pembukaan UUD 1945 dan Pancasila dari kekuasaan Junta Militer Soeharto mendapatkan pertanyaan kritis dari masyarakat. Program pengumpulan dana untuk kepentingan pembangunan bidang olahraga melalui PORKAS, dalam prakteknya sama dengan praktek perjudian yang dilegalkan oleh negara. Tuntutan pelaksanaan program PORKAS, bukannya ditanggapi dengan pengajuan program pengumpulan dana yang lebih transparan dan tidak mengandung unsur perjudian malah, dijawab dengan pemberlakuan program SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang pada prakteknya adalah program PORKAS dengan kemasan yang baru. Aksi-aksi penolakan atas penyelenggaraan program ini pun marak terjadi di berbagai kota di seluruh tanah air. Gerakan menentang pelaksanaan program SDSB ini mempopulerkan kepanjangan baru dari SDSB dengan sebutan Soeharto Dalang Segala Bencana. Plesetan SDSB ini kemudian mengendap dalam kesadaran kolektif massa yang enam tahun kemudian bermetamorfosa menjadi gerakan anti Soeharto di tahun 1998.
Sejak saat tahun 1992 ini, beragam aksi penentangan terhadap kebijakan politik dan kebijakan pembangunan yang tidak mencerminkan semangat pembukaan UUD 1945 dan Pancasila semakin marak terjadi, diantaranya:
- Aksi penolakan atas pemindahan paksa warga Kedung Ombo yang tanahnya akan (dan sekarang telah menjadi) waduk Kedung Ombo;
- Aksi penolakan perampasan tanah rakyat oleh perusahaan-perusahaan negara yang menyelenggarakan program transmigrasi dan penyokong program perkebunan kelapa sawit di pulau Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi;
- Aksi penolakan pengusiran paksa masyarakat Rancamaya yang tanahnya akan (dan sekarang telah) menjadi Resort Lapangan Golf dan Komplek Perumahan Mewah;
- Aksi penolakan pengusiran paksa masyarakat pulau Panggang yang tanahnya dijadikan tempat latihan militer;
- Aksi perlawanan atas pelarangan pembentukan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja di luar SPSI di berbagai perusahaan, seperti: PT. Indoshoes (Sudono Salim), PT. Sritex (Harmoko dan Siti Hadiyanti Rukmana), PD. Tashindo Jaya (Raam Punjabi), dan perusahaan-perusahaan lainnya;
- Aksi perlawanan atas pembatasan informasi yang secara monumental ditandai dengan maraknya aksi penentangan atas pembreidelan Detik, Tempo, dan Editor;
- Serta aksi-aksi penentangan terhadap kebijakan politik dan kebijakan pembangunan Rejim Junta Militer Soeharto lainnya.
Krisis ekonomi internasional pada pertengahan tahun 1996 akhirnya melanda ekonomi nasional. Sebuah domino efek yang tak terhindarkan dari rentannya hubungan ekonomi internasional dibawah rejim ekonomi-politik Kapital. Tahun 1997 adalah puncak krisis ekonomi nasional yang akhirnya merambat menjadi krisis politik dengan semakin menguatnya sentimen anti terhadap pemerintahan Junta Militer Soeharto. Bulan Maret – Mei 1998 adalah masa-masa puncak perlawanan terhadap kekuasaan Junta Militer Soeharto. Gelombang aksi perlawanan ini akhirnya mampu memaksa Jendral Soeharto mundur dari tampuk kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998.
Mundurnya Soeharto dari 32 tahun kekuasaannya adalah awal dari perjuangan negeri ini menegakkan kembali negara Indonesia Merdeka diatas dasar negara Pancasila yang telah disepakati dan ditetapkan bersama pada tanggal 18 Agustus 1945. Namun realitas politik yang sedang terjadi malah semakin menjauhkan ideologi Pancasila dari penerapannya dalam realitas keseharian hidup masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara kini hanya menjadi salah satu pilar dari empat pilar kebangsaan.
Peran Pancasila sebagai ideologi negara kini sedang dan telah diambil alih oleh ideologi-ideologi lain. Organisasi-organisasi kemasyarakatan/kepemudaan yang berbasis pada ideologi kekerasan dengan mengatasnamakan agama Islam telah menggantikan peran negara dalam menentukan apa yang boleh atau tidak boleh, yang benar dari yang salah, yang Islami dari yang tidak Islami, yang mengganggu keamanan dan ketertiban dari yang mendukungnya.
Resistensi sudah pasti terjadi walau saat ini sifatnya hanya sporadis dan lokalis. Negara tidak melakukan tindakan apapun, entah karena bimbang dan ragu … atau malah sengaja memeliharanya … seperti menanti bom waktu yang akan meledakkan pertikaian berdarah di antara sesama rakyat … persis sama dengan kegagalan Soekarno dengan proyek politik Nasakom-nya sepanjang tahun 1960 – 1965. Kejahatan korupsi yang merambah di seantero negeri, mulai dari level rakyat jelata hingga pejabat negara, seperti panu dan kadas yang tumbuh subur di atas kulit tak terawat tubuh negeri ini … tidak diselesaikan secara tuntas. Akibatnya adalah lahir ketidakpercayaan rakyat atas mekanisme hukum dan peradilan yang berlaku di negeri ini.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sepanjang tahun 1965 – 1998 pun tidak ditindak secara hukum oleh negara. Hal ini mengakibatkan proses rekonsiliasi antara korban dan pelaku kekerasan seperti mustahil untuk diwujudkan. Tindak kekerasan yang akhir-akhir ini mengemuka adalah buah dari pembiaran atas tindak kekerasan yang lebih dahulu terjadi. Euphoria reformasi diatas mayat-mayat korban kekerasan Mei 1998 seakan-akan menjadi katup pembuka tindak kekerasan berikutnya. Bahkan organisasi-organisasi kemasyarakatan/kepemudaan/keagamaan yang kerap melakukan tindak kekerasan seakan dilindungi oleh negara dan kebal hukum. Hal ini malah memberikan pembelajaran yang keliru pada masyarakat seakan-akan tindak kekerasan adalah jawaban/solusi ampuh dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan. Tidaklah mengherankan bila ideologi anarki mulai menjamur ditengah-tengah masyarakat. Walau saat ini masih berupa embrio yang dapat ditemukan dengan mudah dalam berbagai blog, situs, dan group fb yang ada, bukan berarti tidak ada peluang satu saat nanti ideologi ini manifest dalam kekuatan politik di dunia nyata.
TEPATKAH PENETAPAN TANGGAL 01 OKTOBER SEBAGAI HARI PERINGATAN KESAKTIAN PANCASILA?
01 Oktober yang sampai saat ini masih diperingati sebagai Hari Kesatian Pancasila, patut dipertanyakan kembali dasar penetapannya. Rejim Junta Militer Soeharto yang menetapkannya menyatakan bahwa dasar dari penetapan tanggal 01 Oktober sebagai Hari Peringatan Kesaktian Pancasila adalah kemenangan militer dengan dukungan rakyat pro Pancasila atas upaya kudeta yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia dan organisasi massa pendukung dan simpatisannya. Benarkah dasar penetapan ini?
Peristiwa Oktober 1965 diawali dengan aksi penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok pasukan pimpinan Letnan Kolonel Untung terhadap enam orang perwira tinggi dan seorang perwira menengah Angkatan Darat. Para penculik adalah militer, korban penculikan pun juga militer. Situasi kecemburuan sosial prajurit terhadap pimpinannya adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan ketentaraan pada masa itu. Jurang perbedaan mutu kehidupan prajurit dari mutu kehidupan pimpinannya sering menjadi pemicu pemberontakan bersenjata yang telah terjadi sejah tahun 1945. Sehingga bukan lah suatu kejadian luar biasa ketika di pagi buta 01 Oktober 1965 sekelompok pasukan pimpinan Letnan Kolonel Untung melakukan aksi pemberontakan dengan menculik dan membunuh Jendral-jendral Angkatan Darat yang dinilai melakukan korupsi.
Siaran radio yang dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung dua jam setelah berjalannya aksi penculikan dan pembunuhan yang dilancarkan olehnya dengan mengisyaratkan keterlibatan Partai Komunis Indonesia tidak pernah dapat dibuktikan kebenarannya secara meyakinkan dalam peradilan yang terbuka dan netral (patut diingat bahwa proses peradilan atas Letnan Kolonel Untung dilakukan melalui Peradilan Militer yang tertutup dan tingkat netralitas yang perlu dipertanyakan). Keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam aksi penculikan dan pembunuhan terhadap perwira-perwira tinggi dan menengah Angkatan Darat juga tidak dapat dikonfirmasi secara tegas dan meyakinkan karena Ketua Umum Partai Komunis Indonesia telah dieksekusi mati tanpa proses peradilan ketika ia berada dalam pelarian. Petinggi partai lainnya, Sudisman, dalam pleidoinya pun tidak memberikan konfirmasi positif atas keterlibatan Partai Komunis Indonesia yang dipimpinnya secara kolektif dalam aksi penculikan dan pembunuhan tersebut. Konfirmasi positif justru datang dari Syam Kamaruzaman … yang merupakan seseorang yang tidak jelas keberpihakannya dan loyalitasnya terhadap Partai Komunis Indonesia. Syam Kamaruzaman menjelang tanggal 01 Oktober 1965 tidak diketahui keberadaannya dan muncul kembali setelah kematian Ketua Umum Dipa Nusantara Aidit dipublikasikan. Tentu saja kepentingannya adalah untuk memberikan kesaksian yang memberatkan atas keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan perwira-perwira Angkatan Darat.
Hari-hari berikutnya sepanjang tahun 1966 – 1968 adalah hari-hari perburuan manusia atas manusia lainnya. Kesaksian para korban selamat yang muncul puluhan tahun berikutnya menyatakan bahwa korban-korban pembantaian dan penangkapan serta pemenjaraan tanpa proses hukum justru dialami oleh ratusan ribu hingga jutaan orang anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi pendukungnya (SOBSI, BTI, LEKRA, GERWANI, dan PEMUDA RAKYAT) serta orang-orang yang diberi stigma komunis (entah benar mereka sungguh anggota/pendukung/simpatisan komunis atau bukan).
Penetapan tanggal 01 Oktober sebagai Hari Peringatan Kesaktian Pancasila dengan dasar penetapan sebagai peringatan atas kemenangan militer dengan dukungan rakyat pro Pancasila adalah sebuah penetapan yang keliru diatas dasar penetapan yang salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara historis dan hukum. Penetapan tanggal 01 Oktober sebagai Hari Peringatan Kesaktian Pancasila sesungguhnya adalah peringatan atas kemenangan kelompok militer pimpinan Jendral Soeharto … tidak saja kemenangan dari seterunya kelompok militer pimpinan Letnan Kolonel Untung saja … terlebih karena kemenangannya dalam mengkudeta kekuasaan Presiden Soekarno. Penetapan tanggal 01 Oktober sebagai Hari Peringatan Kesaktian Pancasila harus ditinjau ulang dan dibatalkan. Pelestarian atas penetapan tanggal 01 Oktober sebagai Hari Peringatan Kesaktian Pancasila hanya akan melestarikan pemahaman yang keliru atas peristiwa penculikan dan pembunuhan yang menimpa perwira-perwira menengah Angkatan Darat (yang kasusnya sendiri saat ini sudah dapat dikategorikan sebagai kasus yang tidak dapat dipecahkan).
BENARKAH PANCASILA SAKTI?
Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati dan ditetapkan oleh wakil-wakil suku, agama, ras, dan antar-golongan pada tahun 1945 adalah landasan bagi rakyat Indonesia dalam berprilaku, bertindak, dan berprilaku sosial. Setelah penetapannya sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, langkah berikutnya seharusnya adalah menyusun UUD negara yang memandu setiap perangkat, aparatur, dan warga negara dalam menjalankan dan menyelenggarakan pemerintahan dan membangun relasi sosial. Pancasila sebagai dasar negara perlu dikaji secara terus menerus agar dapat mengikuti irama perkembangan jaman dan peradaban masyarakat. Sehingga dalam UUD negara seharusnya perlu diatur juga perihal lembaga kajian yang bertanggungjawab utk memberikan telaahan dan intrepretasi atas Pancasila. Hal ini akan menjadikan dasar negara tidak lapuk dimakan peradaban bahkan terus menerus mengalami pembaruan makna seiring dengan perkembangan Kaman dan peradaban masyarakat.
Setelah UUD negara selesai disusun dan disahkan, langkah berikutnya seharusnya adalah menyusun UU dan peraturan-peraturan yang sejalan dengan UUD dan dasar negara. UU dan peraturan-peraturan tersebut berisi aturan-aturan yang menjadi panduan bagi warga negara dalam menjalani realitas hidup kesehariannya. Setelah semua itu selesai disusun dan disahkan, maka Kesaktian Pancasila sebagai dasar negara akan teruji dengan sendirinya. Letak Kesaktian Pancasila sesungguhnya terletak pada penerapan nilai-nilai Pancasila dalam realitas kehidupan warga negara di semua bidang kehidupan. Tidak hanya pada tanggal 01 Oktober saja, tetapi sepanjang hari-minggu-bulan-tahun tegak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertanyaan atas benarkah Pancasila sakti telah terjawab dan tergambarkan dalam uraian diatas. Pancasila belum sakti … hingga hari ini … sebab sejak penetapannya sebagai dasar negara hingga saat ini belum tercermin dalam realitas keseharian hidup warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas kita semua … generasi penentu bangsa ini … untuk menjadikan Pancasila sungguh sakti. Pertanyaan yang layak diajukan kepada kita semua adalah:
BERSIAP-SEDIAKAH KITA MENGUPAYAKAN PANCASILA DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENJADI SAKTI?
Belum ada tanggapan untuk "Edukasi: Benarkah Pancasila Sakti?"
Posting Komentar
Komentar Anda Sangat Membantu Kami. Salam Obrolan Santai.